Bagaimana Dian Memandang Relasi, Karier dan Status Kelajangan

Dalam cerita, penggiringan opini Bu Tejo atas Dian dan keterlibatan bapaknya Fikri, seakan menegaskan bahwa satu satunya hal paling penting dalam kehidupan adalah relasi pernikahan. Stigma perawan tua (subjektivitas lingkungan) kerap dijadikan barometer kegagalan perempuan bahagia, lepas dari prestasi, tanggung jawab serta kebajikan yang dilakukannya.  Padahal, menikah hanya satu alternatif saja jalan menuju bahagia, bukan satusatunya kebahagiaan. Perspektif perempuan atas perempuan lainnya sejak awal menempatkan perempuan dalam gelanggang persaingan bukan jalan ikatan saling menguatkan.

Beberapa hari belakangan media sosial kita diramaikan dengan bahasan mengenai Bu Tedjo, Dian, dan Tilik sebagai sebuah film. Tilik adalah film pendek dengan durasi sekitar 30-an menit yang dipublikasikan pada tanggal 17 Agustus 2020 di kanal Youtube. Sedang untuk filmnya sendiri telah diproduksi tahun 2018 dengan penghargaan Piala Maya kategori film pendek terpilih.

Lewat film tersebut, Bu Tedjo menjadi satu sosok yang terus dibahas karena karakter julid yang ia perankan dalam cerita. Sekian diskusi hadir dengan serius mengenai relevansi film dengan corak kehidupan sosial lewat berbagai disiplin ilmu, mulai dari sinematografi, tafsir atas nilai yang diangkat, kritik sosial atas muatan cerita, juga derap tawa yang hadir sebagai upaya menertawakan diri sendiri: obrolan berkaitan dengan keseharian masyarakat perdesaan. Selain itu, munculnya banyak meme berbagai kepentingan dan tema tertentu yang mencoba mengiblat ke-viral-an logat yang diperankan Bu Tedjo.

Tulisan ini pun hadir sebagai bahasan kesekian atas tafsir-tafsir yang lahir, utamanya gender stereotype bagi perempuan lajang di perdesaan yang coba digiring dalam narasi film. Kita sama-sama tahu, bahwa sejauh perbincangan dalam film adalah perihal pergunjingan atas laku perempuan lajang melalui kacamata perempuan. Sebuah dialog antar-perempuan yang menggiring opini negatif atas perempuan yang memiliki basis berbeda dari definisi pada umumnya.

Dian menjadi satu nama yang terus diulang-ulang dari percakapan pemain dari plot awal film hingga akhir. Dian digambarkan sebagai sosok perempuan muda, cantik, berkarier, memiliki penghasilan, menarik perhatian, memiliki jejaring komunikasi bagus, dengan penampilan luar tidak mengenakan jilbab. Sebuah kondisi yang hendak menggiring bahwa posisi Dian adalah seorang perempuan yang dianggap memiliki kualifikasi sebagai perempuan pengganggu bagi banyak lelaki. Perspektif perempuan atas perempuan yang sejak awal menempatkan perempuan dalam gelanggang persaingan bukan upaya saling membangun.

Saya sendiri adalah Dian, seorang perempuan yang tinggal di desa, berkarier, memilih untuk sementara waktu melajang dan secara subjektif mengaku berpotensi membangun komunikasi yang bagus. Berangkat dari latar belakang tersebut, serta beberapa kesamaan sebagaimana Film Tilik proyeksikan, ada yang tak dapat kami ingkari, kami sama-sama sesosok perempuan. Maka, dalam hal ini, saya hendak mewakili Dian dalam film tersebut untuk memberi cara pandang lain atas kejulidan Bu Tedjo yang terus menggiring opini negatif.

Ia yang dalam hal ini mencoba terus mempersekusi cara tangkapnya atas postingan Dian di medsos yang menggambarkan posisinya kerap bermain di mall, jejaring komunikasinya dengan lawan jenis yang lebih berumur, atau temuannya di lapangan yang pernah muntah-muntah sebagai implikasi nyata dari kesimpulan atas unggahan medsosnya.

Berangkat dari pergerakan teknologi informasi yang kian canggih serta kemudahan akses internet, nyatanya tak lepas dari efek samping di atas kegagapan kita dalam membaca fenomena yang ada. Film Tilik yang mengambil tema “hoaks” digambarkan melalui penggiringan opini melalui percakapan yang mengalir sebagaimana keseharian masyarakat perdesaan dalam berbagai kesempatan. Dalam film tersebut, media sosial mengambil porsi lebih sebagai sebuah legitimasi kebenaran tanpa melakukan kaji ulang persoalan atau terlebih dahulu klarifikasi kepada yang bersangkutan.

Di masyarakat, tak jarang kita menemui hal demikian. Alih-alih cara tangkap kita atas sesuatu yang baru sekelebat mampu mendorong kita mencari celah untuk mengklarifikasi sumber pertama. Nyatanya kita kerap terburu-buru melabeli prasangka sebagai fakta. Bu Tedjo sekali lagi, adalah gambaran nyata dari saya dan semua perempuan yang pandai menghakimi (perempuan) tanpa terlebih dulu membuka ruang memahami (keperempuanan). Berangkat dari gambaran film tersebut serta berkaca dari ruang lingkup yang lebih luas, kita tidak bisa menyanggah bahwa perempuan dalam masyarakat patriarkal masih rentan dilabeli stigma. Tak jarang ia mengalami perlakuan tidak menyenangkan, pun beragam diskriminasi atas pilihan hidup.

Dewasa ini, kita tahu bahwa ada peningkatan terhadap ruang diterimanya tenaga kerja perempuan, serta sudah banyak perempuan yang membuktikan kecakapannya berdaya saing secara profesional dalam dunia kerja. Namun begitu, marginalisasi dan diskriminasi atas perempuan bekerja justru mengiringi status yang disandangnya. Tidak sedikit perempuan berkarier justru dilabeli berbagai stigma negatif, karena keleluasaannya di luar rumah. Padahal banyak perempuan berkarier mampu menunjang perekonomian keluarga, berperan dalam masyarakat, juga memberi pengaruh bagi terbentuknya kebijakan yang mampu menopang kehidupan bagi kaumnya dengan memperhatikan sisi biologis maupun psikologis.

Dalam Film Tilik, stereotif atas perempuan justru lahir dari perempuan. Hadirnya perempuan muda, cantik, berbakat, tidak berjilbab sebagai hak (sebagaimana film), memiliki komunikasi baik, merupakan ketakutan tersendiri bagi perempuan-perempuan tersebut karena kekhawatiran akan terganggunya harmonisme keluarga. Hal yang kemudian memudarkan semangat bekerja bagi beberapa perempuan atas stigma-stigma yang diterimanya.

Perempuan berkarier adalah sebuah pilihan untuk mengoptimalkan bakat, skill dan keberadaannya sebagai manusia yang berdaya saing. Pun demikian, pilihan ini masih harus mengalami stigma dari sekeliling karena adanya pandangan sebagai perempuan yang gagal menjalankan perannya dalam rumah tangga. Pandangan akan berani melawan suami, mudah keluar rumah, mudah menjalin hubungan dengan lain jenis, dan sebagainya.

Kata Raharjo (1975:48) wanita atau perempuan yang pada kesempatannya mampu mengimplementasikan keilmuannya dalam pekerjaan di ranah publik tak serta merta mampu mengoptimalkan perannya sebagai hak. Banyak stereotif yang kemudian menghalangi karier perempuan untuk berkembang sebagaimana pandangan tradisional atas perempuan dan budaya yang menempatkan kepantasan dan tugas dalam keseharian.

Film Tilik adalah sebuah teks yang menggambarkan realitas sosial masyarakat, utamanya perdesaan dengan segala kemungkinan yang tergambar. Situasi dalam pergunjingan adalah realita yang kerap menimbulkan hal dilematis bagi perempuan dalam mengembangkan skill, minat dan mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Hal tersebut juga dilatarbelakangi perempuan karier yang riskan karena tuntutan dalam memenuhi standar hidup; menikah-domistifikasi. Sehingga problematika yang muncul adalah peran ganda perempuan, di mana perempuan dituntut lihai dalam perawatan keluarga serta mampu profesional dalam bekerja.

Sejalan dengan hal tersebut, umumnya perempuan berkarier kerap memilih sementara waktu melajang. Stigmanisasi atas kelajangan perempuan berumur dengan masif terus dialami oleh perempuan di perdesaan. Seperti Dian dalam Film Tilik, kelajangan dipandang sebagai hal tabu, berpotensi mengganggu, bahkan untuk beberapa kalangan perempuan berumur yang melajang dianggap sebagai aib karena tidak laku. Stigma-stigma ini kerap mereduksi hak perempuan sebagai manusia yang memilih sementara waktu untuk mengembangkan diri, stigma atasnya mengikis semangatnya.

Dalam cerita penggiringan opini Bu Tedjo atas Dian dan relasi keakrabannya dengan Fikri atau relasi asmaranya dengan bapaknya Si Fikri, seakan menegaskan bahwa satu-satunya hal paling penting bagi kehidupan adalah relasi pernikahan. Stigma perawan tua (subjektivitas lingkungan) kerap menjadikan/dijadikan berometer kegagalan perempuan. Kondisi yang mereduksi segala pencapaian lain, prestasi tertentu, tanggung jawab yang diemban, bahkan kebajikan dalam keseharian. Kita tidak sedang menyangkal bahwa menikah adalah sebuah kebaikan, atau juga sebagai bentuk kebahagiaan. Namun kita harusnya mengerti bahwa menikah adalah salah satu alternatif bahagia, bukan satu-satunya kebahagiaan itu

Kemudian, ketidakkuasaan perempuan hadir di plot akhir film dengan latar cerita menggantung. Menyajikan kisah asmara Dian dan Duda Bu Lurah dengan ketidakmampuan perempuan memposisikan diri atas tidak diterimanya si anak atau gunjingan lingkungan atas  status ibu tiri muda. Padahal tidak ada yang keliru bagi setiap kita menikah dengan lelaki yang lebih tua jika itu menjadi pilihan hidup, tanpa paksaan, memiliki frekuensi berpikir sama, atau memiliki pemahaman saling melengkapi atau mendukung kecenderungan.

Akan menjadi sebuah kesalahan dan mencederai sesama perempuan, jika ia mengganggu lelaki orang, suami perempuan lain. Selain itu, penampilan Dian sebagai satu-satunya perempuan yang memutuskan tidak berjilbab dalam film adalah gambaran hak bagi perempuan. Penampilan yang tidak seharusnya menjadikan tolok ukur orang lain dalam memandang kesalehan pribadi, melabeli stigma, pun tidak boleh menyandra persepsi buruk atas barometer hijab kedirian dalam kehidupan.

Konsep ke-saling-an (kebersamaan) antar-sesama adalah modal kebaikan universal yang selayaknya dipegang agar kita tidak saling menyakiti, pun membuka ruang dialogis sesama manusia untuk saling klarifikasi dan intropeksi sebagai solusi. Pandangan kesalingan mampu mengakomodir peran setiap kita dalam keseharian, sehingga mampu memberikan hubungan harmonis antar-sesama. Sebuah upaya untuk terus merawat kerukunan, menghormati sisi kemanusiaan yang utuh serta saling membangun dengan memperhatikan sisi biologis dan psikologis.

Artikel Baru

Artikel Terkait