Jejak Pesantren Kuno di Trenggalek

Model pendidikan dan pengajaran pondok pesantren, zaman dahulu, kita tahu, adalah model pendidikan yang paling memasyarakat di Indonesia, sebelum diperkenalkan pendidikan modern gaya Barat: Belanda. Setidaknya, sejak permulaan abad ke-19, dan jauh sebelum itu, pondok pesantren bisa dibilang satu-satunya lembaga pendidikan yang paling dikenal masyarakat (umum).

Secara sosiologis, selain tempat penggemblengan ilmu agama, pesantren juga menjadi wadah para santri belajar hidup bersosial-masyarakat: tempat para santri berlatih hidup secara mandiri juga belajar mengembangkan keterampilan (skill). Pesantren-pesantren ini dari zaman dahulu telah memberikan gambaran yang cukup representatif: bagaimana belajar-mengajar lebih ke suatu contoh konkrit tentang suasana hidup yang cukup baik di lingkungan pesantren, yang sengaja diciptakan sebagai prototipe atau pola suatu masyarakat kecil. Sekurangnya, di sana, (masih ter-identifikasi) terdapat seorang lurah pondok dan warga pondok. Ada bagian keamanan dan seterusnya dan seterusnya, yang secara khusus menggembleng santri menjadi anggota masyarakat pondok dengan peran masing-masing.

Dari situ, para santri pondok dididik, selain untuk mengaji, sebetulnya dengan sengaja juga disiapkan untuk ”hidup” di masyarakat. Di samping, tentu saja, karena kehidupan di pondok nota bene zaman dulu banyak berlokasi di pedesaan. Tersebab pertimbangan: bahwa pengajaran moral (akhlak) lebih dipenting-dahulukan ketimbang pelajaran tauhid maupun ubudiyah, karena kontek sosial dan zaman yang menuntut begitu.

Dari pengalaman pertama mondok dulu, misalnya, di area pondok benar-benar saya jumpai kamar-kamar santri sepuh yang berupa pondokan: mereka membuat kamar atau rumah-rumahan panggung dengan atap dari pelepah-pelepah ijuk dan papan-tembok dari bilah-bilah bambu dan kayu dengan beberapa modifikasi almari yang berada di dalamnya. Bersebelahan dengan beberapa rumah panggung (pondok), terdapat musholla cukup tua yang di sekitarnya juga dibuat kamar-kamar oleh para santri. Meski, ketika saya mondok—sebagaimana generasi se-angkatan pada saat itu, tahun 1997—terhitung telah menempati asrama.

Pada pertengahan abad 19, pesantren-pesantren didirikan dan dirintis salah satunya oleh para prajurit Diponegoro setelah Perang Jawa selesai. Sedikitnya, sebagai contoh, di beberapa titik di Trenggalek, ada sekian tempat yang pada awalnya dijadikan lokasi berdirinya masjid di tengah masyarakat yang sedikit-banyak masih menganut agama Hindu-Budha, sebelum kemudian turut pula didirikan pondok di samping masjid yang dirintis oleh bekas prajurit Diponegoro tersebut. Dan jauh sebelum itu, di masa Menak Sopal, di beberapa titik wilayah yang kemudian bernama Trenggalek ini, sudah berdiri sekian pondok di beberapa lokasi yang kini sulit dideteksi. Menurut cerita Mbah Hamid, di sekitar makam Mbah Galek/Mbah Kawak, pernah berdiri pondok, yang kyainya adalah Mbah Galek sendiri. Ia adalah kakek sekaligus guru Minak Sopal, sebelum kemudian melanjutkan belajar ke pondok di luar daerah. Salah satu santri, teman sepondok Menak Sopal adalah Raden Lembu Peteng, dari Ngrowo, Tulungagung kini.

Dalam penuturan sastra Jawa klasik, sedikitnya, Serat Centini juga Serat Cabolek, kerap mengisahkan, bahwa sejak permulaan abad ke-16 telah banyak pesantren masyhur yang menjadi pusat-pusat pendidikan Islam. Pesantren-pesantren tersebut telah mengajarkan berbagai pengetahuan Islam di berbagai bidangnya: seperti di bidang jurisprudensi, teologi dan tasawuf.

Pada permulaan abad ke-19 misalnya—sebagaimana dicatat oleh Steenbrink (1984)—para santri dari pondok pesantren bahkan banyak memelopori pengolahan tanah-tanah kosong untuk pertanian dan bahkan mempioneri gerakan transmigrasi. Santri-santri yang mengaji di rumah seorang kyai atau guru-guru mereka, sering mengupah pengajaran untuk guru-kyainya dalam bentuk (be)kerja secara cuma-cuma di sawah-sawah milik gurunya (kyai). Dari situlah, lantas disinyalir pesantren-pesantren baru kerap dibuka dan bertumbuh, oleh, salah satunya, tujuan mempersiapkan tanah baru: membuka tempat baru untuk pertanian.

Istilah pondok sendiri ada yang mensinyalir berasal dari kata Arab funduq, yang berarti semacam tempat tinggal yang terbuat dari bambu. Bahkan dari beberapa literatur yang saya baca, istilah pondok alias model tempat tinggal dari bambu, berupa rumah panggung semacam genjot itu adalah kultur khas Nusantara dari sejak masa-masa Hindu-Budha. Di sinilah, Islam, dalam tahap dan situasi tertentu, dengan baik mampu ber-akulturasi dengan budaya lokal—atau yang biasa dalam ushul fiqh disebut urf (tradisi atau budaya lokal)—secara arif dan adaptif. Dengan tetap mempertahankan gaya dan tradisi “tempat tinggal” bagi keberlangsungan pendidikan keagamaan yang telah ada: khas Nusantara. Tidak berniat menghilangkan samasekali, tapi meleburnya sebagai bagian dari, di antaranya, teknik memperkaya tradisi.

Di zaman Hindu-Budha kita mengenal istilah mandala atau karsyan (situs pertapaan dan pendidikan ajaran agama) dari masa lampau. Selain tempat tinggal santri yang di-asimilasi sedemikian rupa, kalau kita perhatikan, tata cara mengajar sistem wetonan atau bandongan itu juga tidak jauh-jauh dari model yang berkembang di Nusantara pada masa Hindu-Budha dulu.

Kelak kedatangan kolonialis Belanda yang membawa perubahan, tidak hanya di sektor administrasi pemerintahan, tapi juga di segala bidang, termasuk ranah pendidikan, dengan diperkenalkannya pendidikan yang berbeda dari yang selama ini dipakai di pesantren: mulai diperkenalkannya sistem pendidikan modern, yang kemudian hari memunculkan kekagetan: dikotomi baru tentang bagaimana pelajaran agama dikaji dalam cara pandang modern. Sementara di sisi lain, sebagian besar masyarakat masih kuat berpegang pada (menerapkan sistem) pendidikan tradisionalis-klasik yang pelaksanaannya sebagaimana sejak dulu bisa kita saksikan di pondok-pondok pesantren salaf.

Ihwal perkembangan Islam di Trenggalek, menurut catatan naskah sejarah, sangat dipengaruhi oleh pendirian masjid dan tumbuhnya pondok untuk belajar agama Islam. Kemunculan beberapa tokoh, yang dikenal mula-mula tersebab mendirikan masjid dan pondok itu—yang merupakan dua elemen dasar pondok pesantren—sedikitnya seperti Mbah Nur Jalifah. Tokoh ini, sebagaimana dicatat Team Sejarah Trenggalek (1983: hlm. 50), sempat merintis pendirian pondok salaf di Trenggalek. Mbah Nur Jalifah terhitung salah seorang bekas prajurit Untung Suropati yang lari ke daerah Trenggalek pasca gugurnya Untung Suropati.

Kelak, pasca Perang Jawa (Java Oorlog) atau Perang Diponegoro, para prajurit Pangeran Diponegoro sebagian juga ada yang lari menuju timur dan menetap di Trenggalek. Prajurit-prajurit itu kemudian banyak yang mendirikan masjid dan pondok. Pondok-pondok tersebut antara lain adalah pondok pesantren Karanggayam, didirikan oleh seorang Mubalig, yang merupakan putra dari seorang prajurit Diponegoro. Pesantren ini berdiri di era Bupati Mangunnegoro I. Bahkan, ia sempat diangkat oleh bupati menjadi hakim Agama Islam. Meski, pada masa Bupati Mangundiredjo lah masjid di pondok Karanggayam ini kemudian dibangun, yakni sekitar tahun 1861 M.

Di daerah Parakan juga sempat terdapat pondok pesantren yang didirikan oleh Kyai Mesir. Ia adalah putra dari Kyai Yahuda yang merupakan pendiri pesantren Lorok di Pacitan. Dari Parakan Kyai Mesir kemudian sempat berpindah ke Durenan dan juga mendirikan pondok pesantren di sana. Bupati Mangunnegoro I, bahkan sempat mengangkat Kyai Mesir sebagai naib pertama di Durenan. Kemudian pada awal abad ke-20, pondok-pondok di Trenggalek kian berkembang hingga muncul banyak pesantren seperti pondok Sumbergayam di Sumbergedong, Trenggalek. Lalu pondok Keningaran di Surodakan, Trenggalek. Pondok Gondang di Kecamatan Tugu; pondok Jonegaran di Ngantru; pondok Desa Karangan; pondok di Sukorame, Gandusari; pondok Sumbergayam; pondok Kedung Lurah di Pogalan dan pondok Kebun Agung di Kecamatan Panggul (Team Sejarah Kabupaten Trenggalek, 1983: hlm. 51).

Lalu, mengapa pengikut Diponegoro banyak membuat pondok? Dengan merujuk Laffan, tentu saja karena sebagian besar pengikut dan pendukung-pendukung Pangeran adalah santri dan kyai. Santri-santri itu adalah santri perdikan. Sebagaimana dicatat Michael Laffan (2015: hlm. 52 & 287), di antara lokasi-lokasi pendukung dari kalangan santri itu mulanya berasal dari Dongkelan, Kasongan, Paparingan, Plasa Kuning, dan Puwareja. Kelak pasca kekalahan Diponegoro tahun 1830, dan dibuang ke Makassar hingga meninggal, kerajaan Jawa Tengah yang awalnya berada dalam genggaman para sufi dan kaum mistik, semakin terikat kekuasaan Belanda, yang sengaja menjauhkannya dari pengaruh Islam santri.

Belanda dengan hegemoninya, selain mencengkram secara nyata, juga lihai menebarkan isu seperti, karena keakraban dengan kaum santri, Pangeran Diponegoro dianggap bergaul dengan ”sampah”; sebagian cendekiawan setelahnya, juga kerap menyebarkan asumsi bahwa keraton dan (pondokan/pesantren) santri selalu bertentangan (Michael Laffan, 2016: hlm. 52). Karena itu, pasca Perang Jawa, Islam yang semulanya aktif berada di pusat, bergeser ke pinggiran antara lain di ranah-ranah pondok pesantren. Kelak, sebagaimana catatan Laffan, banyak kyai yang terus melanjutkan dialog peradaban dan kebudayaan itu dengan Mekah.

Dari tinjauan Laffan, pasca Perang Padri dan Perang Jawa, yang banyak melibatkan kaum muslim, ulama kian menjauh dari pusat pemerintahan (keraton). Penyingkiran itu ternyata tak membawa kemrosotan Islam, khususnya lembaga-lembaganya, justru malah membawa angin segar.

Kini, sepengalaman saya, ada dua gaya belajar di pondok yang khas, antara lain kentalnya hafalan di berbagai mata pelajaran dan kajian kitab di berbagai bidang pengetahuan agama dengan teknik memberi syarh menggunakan huruf pegon alias makna gandhul dengan bahasa Jawa. Seorang kyai membacakan makna (syarh) dari isi kitab tertentu, sementara para santri—sembari duduk di lantai, klesotan dan ada pula yang tengkurap—mendengarkan dengan seksama keterangan seorang kyai sambil mencatatnya (memberi makna gandhul) pada kitab yang sedang dikaji.

Adapun kitab-kitab yang dikaji-ajarkan di pondok, adalah kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu fiqih, ilmu alat (bahasa) dan ilmu akhlak, yang paling dominan untuk satu-dua tahun pertama. Kitab-kitab dalam babakan etika (akhlak) yang berkelindan dengan aqidah, kelak kian intensif dikaji oleh para santri senior. Selain dibaca dan kaji, biasanya santri juga berlatih membaca kitab gundhul. Saya pikir saat di pondok, selain kitab fiqih dan alat (bahasa), kitab-kitab akhlak (etika/tasawuf)—terlebih saat di pondok sudah lebih dari dua atau tiga tahun—adalah kitab-kitab yang paling sering dikaji oleh santri-santri lawas.

Berbagai judul kitab akhlak (tasawwuf) adalah jenis kitab yang paling menarik dikaji, di samping kitab tauhid (ushuluddin).  Kitab Al-Hikam, Ihya Ulumuddin dan seterusnya, sedikitnya adalah kitab favorit untuk dikaji di pondok. Maka, di sini, sebetulnya pengajaran dan pembelajaran di pesantren, sejalan dengan misi pemenuhan kemantapan iman, penguatan aqidah, pembelajaran etika dan ibadah (amaliyah sehari-hari). Tentu selain wadah para santri untuk belajar hidup bermasyarakat dan mengembangkan keterampilannya.

Artikel Baru

Artikel Terkait