Etnografi Jalan Pagi

Sekian minggu ini, sehabis subuh, kami mulai kebiasaan baru—bukan dalam rangka new normal. Jalan kaki menyusuri gang buntu serta jalanan kecil di desa, dengan durasi sekitar satu hingga satu setengah jam. Untuk alasan kesehatan, kami berdua sepakat melakukan jalan-jalan pagi. Dengan mengitari desa sembari bertengak-tengok ke kanan dan kiri: memelototi ke berbagai halaman rumah orang di sepanjang jalan.

Andai jalan-jalan pagi ini kami gelar menggunakan motor atau sepeda onthel, pastinya tak akan sempat sekadar melongok ke halaman orang, apalagi mengamati satu demi satu rumah dari pinggir jalan. Dengan kecepatan tertentu laju sepeda motor atau onthel, akan banyak hal luput dari pandangan.

Hanya dengan jalan kaki, berbagai model rumah orang bisa ditamat-tamatkan, juga hal menarik lainnya, seperti pulasan cat, lekuk dan detail bangunan, berbagai tanaman yang tumbuh di sekeliling rumah, terutama di pekarangannya, dan situasi lingkungannya secara umum. Lagi pula, bagi orang hamil yang pas memang jalan kaki bukan naik onthel.

Oh ya, dalam situasi pandemi sepertinya kelompok peng-onthel/peng-gowes naik pesat. Memang terlihat di jalan raya mereka jadi seperti berlipat ganda, bak rombongan semut mendapatkan gula. Dan masih akan memanggil lagi kawan-kawannya. Banyak orang gabut, melampiaskan dendam kesumat dengan ngonthel. Di saat pandemi, masyarakat Indonesia sepertinya kesehatannya akan tetap stabil. Buktinya, Corona meningkatkan populasi orang ngonthel?

***

Kami menggelar jalan kaki pagi-pagi buta, saat langit masih gelap. Tapi seringnya, kami baru memulai ketika langit di timur sudah agak terang dan di jalanan sudah ada satu-dua orang berlalu-lalang. Setelah mencoba beberapa rute, kami memilih satu-dua rute yang cocok. Dengan indikator, rute yang jarang dilewati kendaraan, terutama mobil dan motor berknalpot menyengat. Di jalanan seperti itulah, suasana paling pas buat para pejalan kaki untuk menikmati pagi. Dengan bonus, pohonan rindang, kalau kebetulan ada.

Secara tidak umum, pokoknya kami mencari jalur-jalur yang bukan jalur besar penuh mobil dan truck, melainkan jalur-jalur sepi dari knalpot. Kami lebih menyukai jalur-jalur kecil menuju kebun dan pematang sawah. Dengan ketenangan jalanannya, maka kami akan bebas memelototi bentuk-bentuk yang alam hadirkan di sekitar desa, juga pohon serta tanaman apa saja yang tumbuh di sekelilingnya.

Pertama, dari jalan-jalan pagi ini, kami jadi punya banyak referensi perihal bentuk rumah. Misalnya di desa ternyata masih ada sekian rumah berhalaman sangat longgar. Juga rumah, yang secara letak dan situasi barangkali, terasa nyaman ditinggali. Membuat kami betah memelototinya sambil berangan-angan andai kami tinggal di situ.

Nah, meski tak banyak, juga masih ada sejumlah rumah yang mempertahankan bentuk joglo. Kendati bisa dihitung jari. Mungkin tampak aneh di tengah perkembangan bentuk rumah yang tampak seragam, masih ada rumah yang keukeuh menjaga ke-joglo-annya. Meski ada pula bentuk joglo yang sudah dimodifikasi: model lawas dengan tampilan baru.

Melihat rumah-rumah joglo lawas di desa itu, rasanya seperti mengalami kembali suasana (juga masa-masa) ketika bentuk rumah begini masih begitu banyak. Kami menduga, barangkali pemiliknya tak memiliki biaya melakukan renovasi. Atau rumah tersebut memang milik seseorang yang ditinggal anaknya merantau, dan menetap di luar kota. Sementara orangtua (di)tinggal sendirian di desa.

Tapi, kenyataannya mayoritas rumah di desa sudah tidak lagi berbentuk joglo. Adapun yang bersikeras mempertahankan bentuk lawas, terasa bagaikan rumah di film-film horor saat dilihat di pagi buta, ketika kebetulan kita lewat depannya. Tapi justru di situ, saya akan mendukungnya. Haha.

Sambil berjalan pagi, kadang kami iseng, mengalkulasi secara subjektif satu persatu rumah yang kami anggap menarik, berdasarkan sumber daya yang ada pada rumah tersebut: bentuk, letak, lingkungan, vegetasi, keluasan dan semua faktor yang kami anggap mendukung. Terakhir kami beri peringkat di sepanjang jalur yang kami lewati, rumah mana saja yang memenuhi acuan dan layak huni sekali.

Kedua, kami mengamati di sepanjang perjalanan, ihwal vegetasi yang tumbuh di sekitar rumah-rumah di desa. Meski banyak rumah dengan tanaman atau pohonan yang tumbuh tak terawat, kami masih melihat banyak rumah yang menanam beragam jenis tanaman di pekarangan. Misalnya ada rumah dengan halaman depan atau pinggir jalan tumbuh pohon turi dan lombok. Tentu kita tahu maksudnya, agar ia bisa memetik kembangnya sewaktu-waktu butuh kulupan atau urap dan mudah memetik lombok ketika berminat bikin sambal secara cepat. Tetapi mungkin tidak begitu juga. Barangkali mereka menanam sekadar hobi saja.

Kami juga masih melihat di beberapa depan rumah orang menggunakan sejenis tanaman khas pagar, yang selain untuk merindangkan tentu juga berniat untuk dikonsumsi: bagi dirinya sendiri atau dikonsumsi oleh tetangganya. Seperti pada gang tertentu berpagar luntas, waung, daun kelor juga berpagar daun soman (istilah lainnya, pepaya jepang).

Dari jalan-jalan pagi ini kami lantas makin kuat punya cita-cita, untuk membuat rumah sederhana dengan halaman agak luas. Supaya, bisa menanam berbagai tanduran di halaman dan pekarangan. Sepertinya, menarik andai sekitar rumah kita ditanami berbagai jenis pohonan, perdu  juga semak. Bisa menjadi semacam hutan mini, minimal untuk dimanfaatkan sendiri di masa sulit, seperti ketika pandemi atau situasi ekonomi negara sedang karut-marut.

Pohon-pohon yang bisa dirujuk untuk ditanam sedikitnya, pohon nangka, pohon kluweh, pohon bentis, pohon turi, pohon salam, satu lagi pohon jati sebab dauannya bisa buat wadah nasi atau bunkus tempe. Sementara untuk tanaman-tanaman kecil dari jenis semak, herba atau perdu-perduan, bisa menggunakan keningker, bayam, kencur, kunyit, bawang merah dan putih, jahe, pala, cabe, sereh, lengkuas, sawi, ketela rambat, kates, jeruk nipis, ketela pohon, pisang, terong, kacang panjang, bayam, kangkung, buncis, dll. Selain untuk dikonsumsi, tanaman-tanaman ini bisa dihitung juga sebagai semacam lanskap dekorasi depan dan samping rumah yang sangat elok dan asri.

Terlebih selain bersepeda, kegiatan berkebun sekarang juga sedang naik daun. Dan tampaknya mengasyikkan, bila bisa menanam sayuran sendiri, untuk mengurangi konsumsi berlebihan saat hari pasaran tiba. Selamat mencoba dan sampai nanti pada etnografi jalan pagi  di edisi selanjutnya.

Artikel Baru

Artikel Terkait