Kendati sudah tidak terlalu intensif ikut melempar wacana atau turut nimbrung merespon umpan pembicaraan di beberapa grup WhatsApp orang Trenggalek yang saya ikuti, kadang saya masih sempat membacai isu-isu yang digelindingkan. Terlebih ketika wacana atau permasalahan yang sedang diangkat, memantik diskusi panjang.
Seperti beberapa waktu lalu, misalnya, salah satu dari sekian grup WhatsApp, ramai membicarakan limbah tambak di pesisir Pantai Blado, Kecamatan Munjungan, yang mencemari lingkungan. Para pemilik kolam-kolam tambak ini abai mengelola limbah tambaknya (IPAL) dengan baik. Akibatnya, pencemaran lingkungan pun terjadi dan menuia kritik. Apalagi yang terbaru, bekas kolam tambak yang terbengkalai malah sudah berhasil menjadi tempat pembibitan jentik nyamuk.
BACA: Sebelum Tambang Terbitlah Tambak
Persoalan tambak di pinggir pantai ini memang sudah mencuat sekurangnya dua tahun terakhir, dikarenakan berbagai persoalan yang mengemuka, di antaranya: pertama, karena limbah tambak yang tidak diproses dengan baik—sesuai aturan perundangan dan ke-UKL/UPL-an—mencemari lingkungan di sekitar bibir pantai dan baunya mempolusi hidung para pengunjung.
Kedua, beberapa bulan terakhir ada penelitian yang menginformasikan agar masyarakat waspada terhadap ancaman bahaya tsunami di pesisir selatan Jawa. Masyarakat sekitar pantai mulai merespon, misalnya, di grup WAG berlangsung obrolan seru perihal mitigasi bencana. Kenyataannya, di sepanjang garis Pantai Blado di Teluk Sumbreng, pohon bakau yang berguna untuk menangkal hempasan tsunami tidak ditanam secara merata. Alih-alih ditanami pohon bakau, pinggir Pantai Blado kini telah disulap menjadi kolam-kolam tambak. Bahkan, dari informasi terbaru, beberapa lokasi penanaman bakau yang telah dengan baik diinisiasi oleh beberapa kelompok relawan lingkungan, disabotase pesanggem.
BACA: Di Pantai Munjungan, Mitigasi Bencana Belum Total Disiapkan
Ketiga, dan ini yang paling urgen, problem status hukum tanah dan izin lokasi tambak. Tanah-tanah di pinggir pantai Teluk Sumbreng itu secara regulasi peruntukannya jelas untuk sempadan pantai. Kenapa justru status hukum tanah di Teluk Sumbreng digunakan masyarakat menjadi lahan persawahan dan ladang, dan kini menjadi persewaan tambak udang? Bagaimana dulu kisah area sempadan pantai bisa menjadi tanah pemajekan bersertifikat? Bagaimana pula tinjauan historis dan yuridis (status hukum hak) atas tanah sempadan pantai di bibir Pantai Blado tersebut sebenarnya?
Perihal tambak yang limbahnya dipersoalkan oleh para pegiat lingkungan dan masyarakat setempat, secara umum karena tambak-tambak ini tidak jelas Amdal, UKL/UPL atau IPAL-nya. Padahal dalam ketentuan UU, pelaku tambak wajib menyediakan ruang sekitar 10-15 persen untuk Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Tujuannya, agar limbah tambak dapat dikelola dengan baik, sehingga “residu” yang dibuang ke alam aman alias tidak mencemari lingkungan.
BACA: Merintis Hutan Bakau di Munjungan
Tidak berhenti di situ, keberadaan tambak-tambak tersebut, kenyataannya juga melanggar ketentuan zona sempadan pantai. Zona sempadan pantai peruntukannya sudah jelas. Seperti yang kita semua sudah tahu, zona sempadan pantai adalah zona yang peruntukan utamanya hanya untuk kepentingan konservasi dan mitigasi bencana, selain untuk kepentingan pertahanan. Bukan untuk kepentingan usaha. Ini sebagaimana kata undang-undang, bahwa penetapan batas sempadan pantai dilakukan untuk tujuan: melindungi dan menjaga kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumber dayanya; kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dari ancaman bencana alam; alokasi ruang untuk akses publik yang melewati pantai; serta alokasi ruang untuk saluran air dan limbah.
Sesuai Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil—diperkuat Perpres nomor 51 tahun 2016, dan dipertegas oleh Permen Kelautan dan Perikanan nomor 21 tahun 2018—menyatakan bahwa: garis sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Aturan sempadan pantai ini yang dalam UU No 27 tahun 2007 berada di pasal 1 ayat 21; dan pada Perpres serta Permen Kelautan dan Perikanan sama-sama berada di pasal 1 ayat 2, wajib diakomodir di pasal 2 oleh pemerintah provinsi hingga pemerintah kebupaten/kota. Yaitu dengan kewajiban bagi pemerintah provinsi maupun kabupaten untuk “menetapkan arahan batas sempadan pantainya” dalam peraturan daerah (perda) RTRW provinsi maupun perda RTRW kabupaten/kota.
BACA: Hakikat Masyarakat Nelayan di Pesisir Trenggalek
Jadi, bisa disimpulkan bahwa keberadaan tambak di zona sempadan pantai tersebut melanggar UU, Perpres dan Permen sekaligus. Sebab, usaha apa pun yang berada di lahan yang tidak sesuai peruntukannya, sangat tidak mungkin untuk keluar izinnya (ilegal). Sementara itu, Perda RTRW daerah harus mengakomodasi peraturan di atas. Karena itu, dengan alasan apa pun mestinya Perda tidak boleh menabrak kepentingan nasional (UU, Perpres, Permen). Dan karena itu pula, bisa kita duga bersama, bahwa tambak-tambak yang masuk wilayah 100 meter dari titik pasang tertinggi di pantai, mustahil mendapatkan izin operasi.
Dalam kasus tanah yang peruntukannya untuk sempadan pantai dan malah menjadi tanah pemajekan seperti dalam konteks di Pantai Blado, Munjungan, memang menjadi kasus yang unik. Kita tidak tahu ceritanya dulu seperti apa? Meski begitu, kasus seperti ini memang lazim terjadi di mana-mana. Kawasan pantai sering sekali dikuasai oleh masyarakat setempat, baik untuk permukiman, pertanian, budi daya tambak dan yang lainnya.
Fakta-fakta seperti ini memang problematik. Menurut penelitian Nunik Dwi Astuti (2008), fenomena pendudukan tanah ini dulu akibat dari kebijakan pemerintah daerah sendiri yang punya kecenderungan untuk lebih memperhatikan wilayah yang memiliki dampak ekonomi lebih kuat dan topografi lebih mudah dijangkau. Dengan faktor tersebut, pemerintah daerah akan memudahkan segala bentuk urusan penggunaan tanah oleh masyarakat, misalnya, karena kepentingan ekonomi daerah (PAD).
Tapi di seluruh dunia, daerah yang berada pada batas antara laut dan daratan ini (sempadan pantai), memang hanya boleh digunakan untuk keperluan pengamanan dan perlindungan pantai. Sekali lagi bukan usaha. Perlindungan terhadap sempadan pantai ini, sebagaimna termaktub dalam Kepres No 32 Tahun 1990 Pasal 13, dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai, termasuk tambak.
Karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Penggunaan tanah di beberapa lokasi sempadan panti di Trenggalek memerlukan penataan lebih baik lagi sesuai aturan perundangan dan dipayungi lokal wisdom masyarakat setempat. Barangkali perlu diusulkan lahirnya sebuah Perbup (peraturan bupati) untuk menyikapi fakta-fakta di atas.
Mengingat fungsi utamanya sebagai kawasan lindung, penggunaan tanah-tanah di area sempadan pantai, yang utama tetap harus memperhatikan asas perlindungan terhadap banyak orang yang hidup dan tinggal di wilayah pesisir tersebut. Perlindungan dari apa? Tentu saja dari pencemaran lingkungan, kenyamanan akses publik ke pantai, dan dari kurangnya ikhtiar dalam memitigasi bencana.