Menelisik (Kulit) Buah Manggis di Watulimo

Beberapa waktu yang lalu, kami berenam melakukan perjalanan di Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo. Maksud dari perjalanan kami ke sana, selain susur sungai, adalah iseng mengidentifikasi beberapa potensi alam dan potensi hasil bumi di sana. Misbahus Surur, pimred merangkap editor nggalek.co, menjadi salah satu anggota rombongan ke Desa Dukuh saat itu. Dia telah menuliskan laporan atau reportase kondisi sungai-sungai di Desa Dukuh di sini.

Dia sudah menuliskan hal-ihwal Kali Keping: di antaranya mendiskripsikan keadaan Jurug Nanas dan air kedung di Urang Kambu. Dibanding saya, tentu saja dia lebih cakap dalam melihat setiap detail obyek serta fasih mendiskripsikan suasana di sana.

Saya lebih tertarik memperhatikan (sekaligus menikmati) buah fenomenal yang tumbuh subur di Desa Dukuh, yaitu manggis (Garcinia mangostana L-untuk nama Latin-nya). Buah berwarna merah kehitam-hitaman ini memang ditanam dalam jumlah banyak di Desa Dukuh. Saya lebih suka menyebutnya Garcinia (tidak perlu mencibirkan bibir, saya kan memang orang terpelajar!).

Pohon manggis di Desa Dukuh, ternyata mudah ditemui, karena hampir di setiap lokasi: di ruas jalan, di kebun, di halaman rumah, selalu terdapat pohon ini. Asumsi saya, bahwa setiap keluarga yang ada di Dukuh, punya pohon manggis.

Perjalanan menelusuri Kali Keping Desa Dukuh ternyata melelahkan. Meski pada saat itu cuaca tidak terlalu panas, bukan berarti tidak menguras keringat. Kontur tanah naik turun serta sulitnya akses jalan menuju lokasi, menyebabkan kami kewalahan. Jangan sebut kami tidak kuat dan tidak bertenaga, alasannya sangat masuk akal: karena kami sangat jarang berjalan di tanjakan dan turunan. Maklum, saya sendiri sekarang adalah orang kota, dalam pengertian lebih sering berjalan di dataran daripada di tanjakan gunung.

Dari Jurug Nanas berjalan ke bawah menyusuri Kali Keping, tidak selalu melewati sungai dengan loncat dari satu batu ke batu lain. Terkadang kami berjalan memotong hingga tiba di Jurug Urang Kambu. Sesampainya di titik akhir tujuan, seperti biasa, kami mengambil gambar, mengenali lokasi, menikmatinya dan setelah puas kami bertolak kembali.

Dipandu seorang guide, bernama Pak Dani, kami melanjutkan perjalanan. Berbeda dengan waktu berangkat yang notabene di jalanan menurun. Sekarang, untuk bisa kembali ke lokasi parkir sepeda motor, kami harus melalui jalan setapak yang tadi sudah kami lewati. Jalanan yang semula menurun sekarang berubah menanjak naik. Kami berjalan beriringan layaknya gerak jalan saat memperingati hari proklamasi kemerdekaan Indonesia di tiap tanggal 17 Agustus. Sesekali kami harus berhenti sejenak untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga, atau sekadar menghela napas untuk menstabilkan detak jantung.

Sekitar dua puluh menit perjalanan menuju tempat parkir, kami pun tiba. Tidak perlu beristirahat terlalu lama, kami langsung menuju rumah salah satu sahabat, namanya Mas Nandar. Dia lelaki asli kelahiran Dukuh Ketro, Desa Dukuh. Semenjak kecil memang tumbuh dan besar di sana. Alasan kami menuju rumahnya sangat jelas. Bermodal jalinan pertemanan, kami berharap dia tidak sungkan-sungkan untuk memetikkan buah durian maupun buah manggis langsung dari pohonnya. Kami tahu kalau dia (baca: orang tuanya) punya buah yang saya sebutkan di atas.

Pertama datang, kami disambut dengan baik, kebiasaan di daerah pedesaan memang menyenangkan. Siapapun tamu yang datang selalu disambut dengan antusias, sambutannya hangat dan menenangkan. Dan itulah Mas Nandar, hidup di tengah kultur desa, membuatnya menjadi pribadi ramah dan hangat.

Kopi adalah hidangan wajib dari tuan rumah kepada tamu. Tanpa kami harus memesan, minuman bersahabat yang satu ini sudah dengan sendirinya dihidangkan. Bercerita ngalorngidul membahas perjalanan kami sebelumnya, hingga tiba pada tawaran yang paling saya tunggu-tunggu: sambut Mas Nandar “ndak sir ngerah manggis”?

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kami ditawari memetik langsung buah manggis. Oh ya, jangan sampai Anda berpikir bahwa kami memiliki jiwa nyungap (meminta-minta). Saya sendiri memang sengaja mengharapkan pemberian manggis dari pohonnya supaya bisa saya tulis menjadi cerita seperti ini. Jadi itu bagian dari trik. Nggak percaya? Ya sak karepmu.

Pohon manggis tumbuh subur di Desa Dukuh tidak lain karena di sini termasuk daerah tropis. Pohon manggis biasanya sangat menyukai tempat-tempat basah yang banyak cahaya, menjadikan pohon ini sangat mudah tumbuh subur. Pak Dani, orang yang mengantarkan kami keliling tadi, juga mengatakan bahwa manggis cocok ditanam di tanah-tanah yang ada di sekitar Watulimo. Sebenarnya pohon manggis tidak cuma terdapat di Desa Dukuh, di Desa Gemaharjo juga banyak pohon manggis. Meskipun pepohonannya belum terlalu besar.

Buah Manggis dari Desa Dukuh
Buah Manggis dari Desa Dukuh

Bibit manggis hasil stek biasanya membutuhkan waktu 5 tahun untuk berbuah. Masih harus ditambah 1-2 tahun masa pembibitan. Jadi, rata-rata manggis berbuah setelah umur 7 tahun. Itu keterangan Pak Dani, guide kami yang asli warga Dukuh tersebut. Saya percaya apa yang dikatakan olehnya, karena beliau adalah salah satu murid jebolan sekolah manggis (pernah ikut diklat pembibitan manggis).

Pada tahun 2013, panen manggis dari Kabupaten Trenggalek mencapai 2.542 kwintal. Terdapat sebanyak 161.106 pohon manggis, baik yang sudah berbuah dan belum berbuah (Bapeda Trenggalek, 2013). Daerah yang paling berpotensi menghasilkan buah manggis adalah Kecamatan Watulimo. Terbukti di tahun 2015 terdapat 126.155 pohon buah manggis dengan klasifikasi 45.050 belum menghasilkan buah dan sisanya berjumlah 81.105, sudah berbuah (BPS Trenggalek, 2015). Jadi, tidak salah jika saya mengatakan bahwa menemui pohon manggis di Watulimo memang tidak sulit.

Membicarakan manggis tentu tidak terlepas dari sisi manfaatnya: manggis dikenal sebagai antioksidan dan anti-inflamasi, selain itu bagi warga Watulimo, manggis dipercaya sebagai penawar sakit dari efek makan buah durian, yaitu pusing karena tekanan darah. Perlu sampean ketahui ya musim buah durian di Watulimo selalu dibarengi dengan musim manggis. Jadi fakta ini merupakan nikmat yang tak tertandingi.

Tidak hanya pada buahnya, ternyata khasiat manggis juga ada pada kulitnya. Tak heran jika salah satu produk farmasi terkini telah membuat ekstrak kulit manggis yang—konon kata si pembuat ekstrak manggis—dapat memperhalus dan mempercantik kulit. Saya berandai-andai, jumlah produksi buah manggis di Trenggalek mencapai 254,2 ton. Lalu, tidak bisakah Trenggalek membuat ekstrak kulit buah manggis sendiri, supaya masyarakat Trenggalek (khususnya bagi kalangan perempuan) memiliki kulit lembut dan cantik, selembut dan secantik kulit istri bupati dan wakil bupati.

Artikel Baru

Artikel Terkait