Kesenian sulit bertahan dalam masyarakat urban dan hedonis, jika tidak ada yang mau berkorban untuk mempertahankan dan me-nguri-nguri. Selama ini karakter sebuah tempat adalah salah satu faktor pembentuk sebuah kebudayaan. Karenanya, sebagai muda-mudi partikelir yang lahir dari “budaya ketimuran”, sudah sepatutnya kita menjaga warisan leluhur, supaya tidak kehilangan karakter pembentuk kebudayaan tersebut.
Hari jadi Trenggalek setidaknya bisa didaku sebagai hari paling memikat bagi masyarakat Trenggalek, selain hari raya dan hari kupatan. Segala pagelaran kebudayaan Trenggalek yang dibalut dengan budaya pop tampil dalam hiruk pikuk bersama. Meskipun inti dari kerepotan tersebut adalah momen di mana kembang api dinyalakan (biasanya berguna untuk meningkatkan index kebahagiaan masyarakat juga, eh..) tapi seluruh rangkaian kerepotan terjadi hampir satu bulan lamanya.
Bukan hanya kembang api yang menjadi idola masyarakat Trenggalek, namun juga pagelaran wayang kulit semalam suntuk juga—yang biasanya mengundang dalang kondang dari berbagai daerah. Nyaris karena setiap tahun digelar, masyarakat dari berbagai kecamatan tumplek blek di alun-alun Trenggalek.
Penikmat wayang kulit, kalau boleh saya sebut secara lancang, memang lebih didominasi oleh para orang tua ketimbang muda-mudi. Wayang kulit kendati produk langka ciptaan Sunan Kalijaga, sampai saat ini belum mampu menyedot perhatian para pemuda dan pemudi pelosok desa untuk duduk metengkuk semalam suntuk mendengarkan omelan dalang dan para sindennya. Bukan karena tidak menarik, namun kebanyakan memang tidak terlalu mengerti bahasa yang digunakan oleh dalang. Young man jaman now lebih menyukai sinetron anak jalanan atau artis luneg (luar negeri) seperti korea ketimbang bahasa ngoko andap, bahkan bahasa Sanskerta. La wong kadang memaksa nyeletuk begini “kulo bade siram rumiyen”.
Trenggalek rikala semana (pernah ditulis: Rikolo semono) adalah tema yang dipakai EO Hari Jadi Trenggalek tahun 2017. Meski pada dasarnya konsep yang dipakai adalah konsep “bingung di tengah pasar” namun perhatian masyarakat sangat besar, hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya pengunjung membludak di setiap malam dan makin ramai di penghujung atau di puncak acara, dengan menyalakan kembang api. Salah satu hasil yang bisa diukur adalah para pedagang senang berjualan di pasar rakyat Trenggalek, khususnya pedagang dari luar kota. Ini tidak lain karena masyarakat Trenggalek lebih loyal membelanjakan uangnya untuk produk dari luar Trenggalek ketimbang belanja produk-produk UMKM Trenggalek. Produknya tidak menarik dan terkesan dipaksakan. Jadi slot-slot tenda yang disediakan selalu ludes dipesan para pedagang dari luar kota.
Dalam agenda besar Hari Jadi Trenggalek, ada yang membedakan dari tahun sebelumnya, Dewan Kesenian Trenggalek menampilkan pertunjukan panggung perdana dengan mengusung lakon “Cinta Tanpa Tanda Baca”. Ini merupakan pentas kolosal kolaborasi yang sangat kentara aksi lipsingnya, seperti apa yang ditulis oleh Mas Bonari dalam artikel Trenggalek, Kesenian, Agustusan.
Pertunjukan semacam ini langka jika dibandingkan dengan lakon dangdut akademi yang ada di televisi, namun agak sejajar jika dibandingkan dengan ulah-ulah DPR Treggalek dalam mengusung “isu rendahan” seperti mempersoalkan patung turangga yaksa beberapa waktu lalu dan juga membuat resah pengurus Hutan Kota karena disebut tidak menghasilkan apa-apa.
Lalu ketika saya sedang berbincang-bincang dengan Mas Bonari menyoal kronologi pagelaran-pagelaran yang diusung di Hari Jadi Trenggalek, tiba-tiba tebersit gagasan, “Kenapa Trenggalek tidak sekalian membuat panggung akbar untuk mempertunjukkan ludruk dengan lakon Suminten Edan atau lakon lainnya?”
Ludruk merupakan ciri Jawa Timur-an yang kini jarang sekali dipentaskan. Kids jaman now mana tahu apa itu ludruk atau ketoprak, bukan karena tidak mau tahu tapi memang belum ada kesempatan untuk menyaksikan aksi panggung, sebab sudah jarang ada yang menampilkan. Saya sendiri baru pertama kali menonton ludruk di lapangan Desa Slawe, itu pun saat masih ingusan dan belum mengerti makna tersurat dan tersirat dari pagelaran ludruk.
Jika masyarakat Eropa sangat menyukai pertunjukan opera, lantas kenapa masyarakat Trenggalek tidak mengindahkan kesenian ludruk yang merupakan hasil produk budaya ketimuran. Padahal dalam hal sumber daya keuangan dan sumber daya manusianya jelas sekali tercukupi.
Bukankah nanggap wayang biayanya ratusan juta? Bukankah membakar kembang api juga menghabiskan biaya puluhan juta? Bukankah memfasilitasi DPR plesiran juga memakan biaya banyak (eh)? Jadi setidaknya menanggap ludruk adalah sebuah keniscayaan yang bisa dan mampu digelar oleh Pemerintah Trenggalek.
Mumpung ketua dewan kesenian Trenggalek adalah wakil bupati sendiri, yang secara jabatan, bentuk fisik dan rupa wajah serta pisuhan sepertinya sangat mendukung untuk melakonkan peran Den Mas Broto, dan juga para pejabat Kabupaten Trenggalek yang pandai dalam bermain peran (khusus di hadapan Bupatinya). Ludruk sangat bisa dijadikan sebagai obat pelepas rindu para sesepuh dan pini sepuh Kabupaten Trenggalek yang dulu sering menyaksikan ludruk. Juga sebagai ajang mendekatkan pejabat dengan rakyatnya.
Apa masyarakat Trenggalek suka? Jadi begini saudara-saudara se tanah-air bumi minak sopal, waktu Inul Daratista manggung di panggung 360 Pantai prigi saja, panitia membuatkan banner besar yang dipajang di tempat-tempat strategis untuk menyedot perhatiian masyarakat. Apalagi kalau ada pertunjukan ludruk yang diperankan oleh Kang Mas Ipin? Jadi, suka dan tidak suka saya rasa manut dengan branding yang dibuat. Kalau semacam ini, boleh lah Dinas Pendidikan melakukan broadcast kepada kepala sekolah, merekomendasikan murid-muridnya menonton ludruk, bukan Inbox dan Dangdut Academy.
Mas Ipin jadi Den Mas Broto, lalu Mas Emil jadi apa? Anu begini saja, Mas Emil boleh lah duduk manis bersama Bunda Arumi sambil menonton pagelaran ini. Itung-itung sambil belajar bahasa Jawa secara gayeng. Hehehe
Jadi bagaimana Mas Ipin, tahun ngarep berani nanggap ludruk?