Potret Marjinal Peradaban Dusun Ketro dalam Konstalasi Pembangunan (2)

Sekitar tahun 1960-an, Sungai Banyu Nget adalah kawasan hutan dan sungai keramat yang belum banyak dirambah manusia. Banyu Nget sangat terkenal dengan watu ungkal (batu asah) untuk menajamkan pisau, sabit, dan lain-lain. Sebagaimana Sungai Banaran, Banyu Nget juga merupakan bekas punden yang banyak dikunjungi orang untuk melakukan ritual sesaji, berada dalam otoritas Juru Kunci bernama Kosuro. Punden keramat tersebut mengalami kehancuran ketika pohon besarnya ditebang masyarakat setempat untuk digunakan sebagai bangunan Masjid Amaludin dan MIM (Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah).

Secara keseluruhan di sepanjang aliran-aliran sungi di atas ditemukan berbagai jenis bebatuan dalam ukuran beragam, tebing bebatuan curam, dan di tepian kanan-kirinya masih banyak ditumbuhi beragam bambu dan pohon rindang. Gemericik air beserta lambaian rerimbunan dahan diterpa angin disertai kicau burung di sekitar kawasan hutan rakyat di sepanjang aliran sungai menawarkan pesona alam yang sangat indah. Sehingga peradaban Dusun Ketro yang termarjinalkan dari sentuhan pembangunan, justru meningkatkan kemandirian masyarakat di segala sektor kehidupan.

 

Dinamika Pembangunan Infrastruktur

Akselerasi pembangunan infrastruktur di kawasan dusun ini masing-masing dalam kategori terbelakang. Akses jalan antar-permukiman warga rata-rata berupa jalan setapak. Penyebaran wilayah permukiman penduduk terbagi menjadi sembilan satuan wilayah kecil yaitu, Pule, Nglungur, Karangsono, Duren, Sumurup, Tanggung, Sawah Lho, Ngembak, Keping, Banaran, Kali Kuning, dan Ketro. Permukiman Keping merupakan satu-satunya permukiman yang paling terpencil dengan jumlah penghuni + 6 (enam) Kepala Keluarga.

Rumah permukiman penduduk rata-rata sudah dibangun permanen model minimalis khas perdesaan layak huni. Sesuai dengan parameter yang dipergunakan Sustainable Developmen Goals (SDGs) terdapat empat kriteria rumah layak huni yaitu: struktur konstruksinya kuat, luas bangunan memadai, sanitasi baik, dan ketersediaan air bersih. Meskipun masyarakat Ketro tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap kriteria rumah layak huni, berdasarkan kearifan lokal dan sensitivitas ekologisnya, seluruh bangunan rumah penduduk telah memenuhi kriteria tersebut. Dilengkapi kamar madi dan kamar kecil. Saat ini permukiman penduduk di Dusun Ketro sudah ODF (Open Defecation Free), yakni terbebas dari perilaku buang air besar di sembarang tempat.

Lokasi Dusun Ketro ditempuh melalui perjalanan dengan medan perbukitan terjal namun panorama pemandangannya sungguh eksotis. Akses jalan masuk dengan menggunakan transportasi kendaraan bermotor hanya bisa ditempuh dari dua arah, yaitu satu-satunya jalan dari arah selatan, yakni Desa Sawahan, melalui Bukit Jogoboyo; dan dari arah utara, melalui Desa Slawe, melewati bukit Tumpak Siki. Selain itu juga terdapat beberapa jalur jalan alternatif yang bisa ditempuh melewati jalan setapak. Dari arah Dusun Kajar dapat ditempuh menggunakan kendaraan bermotor, yakni melewati jalur dari arah Desa Sawahan dan tiga jalur jalan setapak, yaitu lewat Bukit Keping, Bukit Podonolo, dan Bukit Gondang. Sementara dari arah timur hanya ada satu jalur jalan setapak melalui Bukit Tumpak Andong. Sedang dari arah utara juga tersedia dua jalur jalan setapak melalui Bukit Glagan Puthuk dan Bukit Kali Kuning.

Sejarah perjuangan masyarakat Ketro untuk membuka akses jalan dilakukan dengan cucuran keringat dan air mata darah. Pada awalnya, satu-satunya akses jalan utama berupa jalan setapak yang hanya bisa ditempuh menggunakan jalan kaki. Atas inisiatif masyarakat, tahun 1980 dimulai pembukaan akses pembangunan pelebaran jalan melalui gerakan kerja bakti setiap hari Jum’at. Kerja bakti pembukaan akses jalan utama sepanjang + 4000 M dan lebar + 4 M mulai dari permukiman Mukus, Desa Sawahan, hingga permukiman Darung, Desa Slawe, memakan waktu sekitar 5 tahun.

Kerja bakti masal dengan menggunakan alat tradisional seadanya sepenuhnya dikerjakan secara swadaya oleh masyarakat Ketro tanpa ada bantuan dari dusun lain maupun pemerintah. Sejauh pengalaman penulis yang pernah ikut terlibat kerja bakti membantu orangtua, masyarakat Ketro juga mendapat bagian untuk kerja bakti perbaikan jalan utama desa yang terletak di Dusun Ponggok. Hal ini artinya, bahwa disparitas praktik ketidakadilan pembangunan semakin lebar jaraknya bagi wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan.

Posisi Dusun Ketro bersama dua dusun lainnya, yaitu Kajar dan Krajan, harus rela menerima ketertinggalan pembangunan bidang infrastruktur, karena letak geografisnya jauh dari pusat kekuasaan dan berada di perbukitan di tengah hutan. Aliran listrik baru masuk ke wilayah ini pada tahun 1987 dengan hasil perjuangan masyarakat setempat. Kerasnya pergulatan hidup masyarakat untuk membangun kemandirian infrastruktur, membuat Ketro mampu membuka akses jalan, jembatan, lembaga pendidikan, tempat ibadah, air bersih, dan pertanian tanpa harus menunggu uluran tangan pemerintah.

Dalam konteks pembangunan infrastruktur di perdesaan yang berasal dari proyek pemerintah, seringkali menimbulkan gejolak di masyarakat, karena sasaran tidak tepat, bukan menjadi kebutuhan masyarakat, kualitas buruk, dan perencanaan yang salah. Ketro juga pernah menjadi korban pemaksaan proyek yang bukan menjadi kebutuhan warga. Pada akhir tahun 2002, Dusun Ketro pernah mendapat proyek perpipaan air bersih sepanjang + 2000 meter yang dibiayai APBD Kabupaten Trenggalek sebesar Rp. 111.000.000. Proyek di bawah kendali Dinas Permukiman waktu itu, mengalami gagal total dan tidak berfungsi, bahkan justru menimbulkan konfik di masyarakat.

Permasalahannya bermula dari perencanaan yang tidak tepat. Dusun Ketro sebenarnya memang tidak membutuhkan air bersih, karena air sudah sangat melimpah. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, warga masyarakat sudah memiliki alokasi sumber mata air sendiri-sendiri yang sudah diatur berdasarkan kearifan lokal. Warga dusun Ketro RT. 13 dan 14 alokasi kebutuhan air bersihnya terpenuhi dari sumber mata air di Sungai Kuning dan warga RT. 15 dan 16 telah memiliki sumber mata air dari Sungai Pelus.

Kehadiran proyek perpipaan mengambil lokasi dari mata air di Sungai Pelus untuk disalurkan kepada warga RT.13 dan 14. Padahal warga di kedua RT tersebut sebenarnya tidak memerlukan proyek air bersih, karena kebutuhan air sudah terpenuhi dari Sungai Kuning. Keberadaan proyek perpipaan secara otomatis akan mematikan alokasi kebutuhan air yang selama ini dipergunakan oleh warga Dusun Ketro di RT.15 dan 16. Singkat cerita proyek tersebut ditentang warga dan titik kompromi-nya tetap dibangun tetapi tidak difungsikan.

 

Devolusi Pengelolaan Hutan ala Dusun Ketro

Meskipun posisi wilayahnya di tengah-tengah lingkaran kawasan hutan, karakteristik lahan di dusun ini sangat sulit dibedakan antara tanah pemajekan dan tanah Perhutani. Keduanya sudah sama-sama menjadi lahan pertanian yang dikelola oleh masyarakat sekitar hutan setempat. Perbedaannya terletak pada lahan yang ditempati kawasan permukiman berarti tanah pemajekan, dan lahan yang tidak ada permukimannya berarti kawasan Perhutani. Meskipun hal ini terkadang juga sangat sulit dibedakan. Karena jarak antara permukiman, tanah pemajekan dan kawasan hutan rata-rata saling berdekatan.

Keterbatasan kepemilikan lahan, mayoritas masyarakat menggantungkan mata pencahariannya dengan berprofesi sebagai petani di hutan yang telah dikelola secara-turun temurun. Sehingga Ketro dikenal sebagai dusun yang berhasil melakukan devolusi dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan (PSDH) secara berkelanjutan (Sustainable Forest Management-SFM) di Kabupaten Trenggalek. Berbagai upaya reboisasi yang dilakukan Perhutani dengan homogenisasi tanaman seperti pinus (Pinus Merkusii) dan sono (Dalbergia Latifolia) ternyata gagal total dan tidak efektif.

Selama ini pola pengelolaan hutan yang dilakukan Perhutani menempatkan hutan hanya dipandang dari segi ekonomi sebagai hutan produksi. Di mana hutan dikelola layaknya sebuh perkebunan seperti kebun pinus, kebun jati, kebun sono, kebun mahoni dll. Padahal hutan adalah suatu ekosistem yang di dalamnya terdapat beberapa unsur, yakni manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang. Berangkat dari kegagalan project hutan produksi yang dimotori Perhutani, masyarakat Ketro dan juga masyarakan Desa Dukuh pada umumnya, menginisiasi best practice terwujudnya vegetasi hutan rakyat yang memiliki fungsi ekonomi, ekologi dan memberikan devisa negara dari sektor non pajak.

Kesuburan tanah yang masih memiliki ketebalan humus, kenetralan PH, bertekstur lempung, dan kaya biota tanah menempatkan kawasan hutan di sekitar Ketro sangat subur untuk lahan pertanian. Berbagai jenis tanaman produktif dapat tumbuh di lahan tersebut dan berfungsi sebagai hutan lindung sekaligus buahnya memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat. Di antaranya adalah durian (Durio Zibethinus), pete (Parkia Speciosa), jengkol (Archidendron Pauciflorum), kluek/pucung (Pangium Edule), pakel/ bacang (Mangifera Foetida), manggis (GarciniaMangostana), nangka (Artocarpus Heterophyllus), kluwih (Artocarpus Camansi), bendo (Artocarpus Altillis)), cengkih (Syzygium Aromaticum), kelapa (Cocos Nocifera), aren (Arenga Pinnata), mengkudu (Morinda Citrifolia), sirsat (Annona Muricata), langsat (Lansium Domesticum),Cokelat (Theobroma Cacao), dan lamtoro/kemlandingan/petai cina (Leucaena Leucocephala).

Salah satu produk unggulan komoditas petani hutan adalah buah durian. Hampir di seluruh kawasan Perhutani yang melingkari Dusun Ketro terkenal dengan berbagai jenis durian varietas lokal. Salah satu durian lokal varietas unggul yang telah mendapat sertifikasi dari Balai Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB) berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.277/Kpts/SR.120/7/205 tertanggal 14 Juli 2005 adalah Durian Ripto. Varietas unggul durian lokal pertama asli dari Desa Dukuh, Watulimo, berasal dari pohon induk milik Suripto yang tumbuh di kawasan hutan bukit Kali Kuning dengan tinggi + 30 M dan diameter 1 M. Belakangan juga muncul varietas unggul durian lokal yang juga telah disertifikasi yaitu Durian Kunir dan Durian Rindu di kawasan hutan Bukit Kajar. Selain itu juga masih terdapat variatas unggul durian lokal lainnya di kawasan hutan di sekitar Dusun Ketro yang belum terekspos dan diketahui publik seperti Durian Basoka, Durian Krusu, Durian Gludug, Durian Ketan dll. Masyarakat sekitar desa hutan ini, memahami betul genealogi dari setiap jenis pohon durian yang ditanam.

Jenis tanaman produktif lain yang tumbuh subur dan berkontribusi menjaga ketahanan ekologi adalah berbagai macam bambu (Bambusa Sp), sengon (Albizia Chinensis), waru gunung/waru gombong (Hibiscus Similis), dan gamal/klereside (Gliricidea Sepium). Berbagai keanekaragaman hayati lainnya yang tumbuh subur berperan menjaga keseimbangan ekosistem dan memperkokoh ketahanan pangan masyarakat adalah ketela pohon (Manihot Esculenta) pisang (Musa Paradisiaca), lengkuas/ laos (Alpinia galanga), jahe (Zingiber Officinalke), kunyit (curcuma longa), kencur (kaempferia galanga), kapulogo (Amomum Compactum), pepaya (Carica Papaya), waung (Premna Cordifolia Linn), kelor (moringa oleifera), beluntas (Pluchea Indica), kacang gude/kacang kayo (Cajanus Caja), kecipir (Psophocarpus Tetragonolobus ), kara benguk/kacang babi (Mucuna Pruriens) waluh (curcubita), labu siam (sechium edule), gembili (dioscorea esculenta), gembolo(dioscorea bulbifera), uwi (dioscorea alata), suweg (amorphophallus paeoniifolius), gadung (Dioscorea Hispida Denst), talas (colocasia esculenta), kopi (coffea, ganyong (Canna Indica) dan umbi garut (Maranta Arundinacea). Sehingga Ketro merupakan salah satu dusun yang dari sisi ekologi masih memiliki keseimbangan ekosistem. Karena di sini MSDH (Masyarakat Sekitar Desa Hutan) hidup berdampingan secara damai bersama alam dengan beraneka ragam flora dan fauna.

Kearifan lokal (indiginous knowledge) masyarakat yang menyatu dan bersahabat dengan alam, mengantarkan kehidupannya sebagai dusun yang mampu menjaga keseimbangan ekosistem. Meskipun di wilayah lain terkena berbagai badai krisis seperti krisis air di musim kemarau panjang, banjir dan longsor pada musim hujan, krisis lingkungan, dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, kehidupan masyarakan Ketro tetap berada dalam kondisi normal. Bahkan dalam konteks swasembada pangan, sektor pertanian hutan memberikan daya survival kemandirian yang robust and strong.

Namun demikian tidak adanya proteksi kebijakan yang melakukan standarisasi harga terhadap hasil produk pertanian, dalam aspek finansial mereka berada pada posisi yang sangat rentan. Problem finansial ini sangat dirasakan ketika anak-anaknya mulai masuk usia sekolah. Sementara produk hasil pertanian yang melimpah tidak ada kepastian nilai jual dengan harga yang layak. Untuk mengatasi problem finansial tersebut, para petani melakukan diversifikasi produk pertanian agar bisa terus survive dan tidak tergantung pada satu produk hasil pertanian saja.

Kekayaan alam Dusun Ketro yang sangat cocok untuk pertanian, menghasilkan berbagai produk unggulan seperti durian, manggis, salak, pisang dan lain sebagainya. Potensi besar buah-buahan yang dilepas pada mekanisme pasar tanpa adanya keseimbangan antara supply and demend (penawaran dan permintaan), menempatkan petani pada posisi yang selalu dirugikan. Berdasarkan hukum ekonomi ketika harga suatu produk meningkat, maka permintaan akan produk tersebut cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya jika harga produk menurun, maka permintaan cenderung meningkat.

Hadirnya negara yang berpihak pada petani untuk melakukan proteksi dan stabilisasi sangat diharapkan agar isu pertanian tidak hanya dijadikan sebagai jargon politik dan bahan kampanye. Karena pada realitas empirisnya peningkatan kehidupan petani ditentukan oleh hasil kerja petani sendiri. Sedang terpuruknya harga produk pertanian merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada petani dan lebih membiarkan pada mekanisme pasar.

Bagi masyarakat petani Dusun Ketro dan juga dialami masyarakat petani dusun lainnya, suksesi kepemimpinan pejabat politik tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraannya. Kehidupannya tetap mengalir seperti biasa seiring hadirnya pejabat politik yang selalu datang dan pergi dengan meninggalkan segudang janji. Harkat, martabat dan kedaulatan petani tidak banyak lahir dari keputusan-keputusan politik yang berani. Siapa pun presiden, gubenur, bupati, camat, kades, dan kasunnya, seorang petani adalah seorang petani yang tetap harus berjuang sendiri. Paling banter keberhasilan kerja kerasnya diapresiasi dalam ajang seremonial kontes produk hasil pertanian yang seakan-akan mengangkat martabat petani. Padahal kegiatan tersebut sebenarnya hanya untuk pencitraan diri pejabat yang ingin terpilih kembali.

Kedaulatan ekonomi petani memang menarik untuk dijadikan isu politik yang mudah dikapitalisasi. Realitanya hingga saat ini tidak ada satu pun keputusan politik serius yang berani melakukan proteksi terhadap kepentingan para petani. Petani hanya berharap agar negara melakukan kebijakan standarisasi harga atau memberikan kewenangan sepenuhnya kepada petani untuk bisa menentukan harga terhadap produk-produk hasil pertaniannya. Seperti juga lazimnya dilakukan oleh dunia industri.

Sejak awal berdirinya Republik ini, negara mengedepankan bahwa format negara kita memang negara agraris. Sehingga sudah menjadi keharusan apabila negara memakmurkan dan mensejahterakan petani sebagai pemegang kedaulatan ketahanan pangan. Tetapi ketika negara melakukan restrukturisasi format kenegaraan kita dalam bentuk negara hukum, maka negara pasti menggeser kue kesejahteraan dan kemakmuran tersebut kepada para penegak hukum bukan kepada para petani. Padahal fitrah kultural kita tidak akan bisa berpaling dari negara agraris, sehingga negara harus hadir dan berpihak pada petani bukan pada dunia industri.

Musim durian yang barus berlalu di Ketro pada tahun 2020 ini menjadi refleksi penting dalam sistem pertanian kita. Betapa nestapanya kita menyaksikan euphoria dan disparitas makna terhadap buah durian. Nikmatnya buah durian bagi petani dan pedagang memang berbeda. Bagi petani nikmatnya durian bukan terletak pada manis dan kelezatan tekstur aromanya rasanya, tetapi bagaimana hasil jerih payahnya dalam bertani bisa laku dijual di pasaran dengan harga yang pantas untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan bagi pedagang nikmatnya buah durian semata-mata terletak pada manis dan kelezatan aroma rasanya yang bisa dibeli dengan harga murah untuk bisa dijual lagi dengan harga mahal agar memperoleh keuntungan besar.

Pada setiap musim panen durian dan produk-produk pertanian lain, kita menyaksikan betapa pertarungan kelas antara proletar dan borjuis terjadi dengan kasat mata. Toh ujungnya tetap petani sebagai representasi kaum proletar yang berada dalam posisi yang semakin termarginalkan. Petani durian dan petani lain tetap harus menerima dirinya sebagai petani yang dimiskinkan secara struktural. Para petani hanya bisa bekerja keras mengolah lahan pertaniannya yang sangat terbatas. Tetapi petani tidak pernah bisa menentukan harga produk hasil pertaniannya, karena otoritas penentuan harga menjadi domain pasar (tengkulak/pedagang).

Petani hanya bisa menanam dan memanen durian, tetapi tidak bisa menentukan harga durian. Petani selamanya akan tetap menjadi kaum proletar (petani miskin) dan yang pasti kaya adalah pengusaha/pedagang hasil pertanian. Berbeda jauh dengan perusahaan rokok, mobil, sepeda motor dll, mereka mampu memproduksi sekaligus menentukan harganya. Kasus terpuruknya harga produk-produk pertanian adalah contoh real bahwa kebijakan ekonomi kerakyatan pemerintah dan anti ekonomi Neolib hanyalah jargon politik kosong tanpa makna. Beranikah pengambil kebijakan memproteksi harga produk-produk pertanian seperti durian, cengkih, kelapa, ketela, kopi, dll dengan melakukan standarisasi harga? Kita sangat merindukan ekonomi kerakyatan yang berpihak pada petani, bukan ekonomi neoliberal yang tidak ada perlindungan terhadap petani dan kesemuanya diserahkan pada mekanisme pasar.

Bersambung…

Artikel Baru

Artikel Terkait