Sore itu, awan hitam menyemburat. Sinar mentari di ufuk timur telah menjorok ke barat. Cuaca sering murung, hujan juga sering turun. Namun saat itu hujan sedang tidak hujan. Kami bertiga (Eko Yulianto, Bambang, dan saya sendiri) membuat janji ke Ngrancah untuk nderes badek (air nira aren) langsung dari pohon. Dari pertigaan Winong, kami menggeber motor masing-masing menuju utara jalan Desa Slawe.
Perjalanan kami tak ada kendala. Hanya berhenti sejenak mengisi bensin. Saya sempat bertanya pada Bambang pada jalur yang biasa ia lalui. Bambang merupakan Kepala Dusun Ngrancah, yang setiap hari berkantor di Balai Desa Sawahan. Jalur yang ia lalui setiap hari adalah jalan Desa Dukuh lewat jalan Desa Slawe. Karena berangkat dari selatan, maka kami harus mengular di jalur provinsi Prigi-Trenggalek. Tentu melalui jalan Desa Slawe dan jalan Desa Dukuh.
Di Desa Dukuh banyak bahu jalan berlubang. Meski demikian, saya menikmati tiap kelokan yang memiliki kontur turun-naik, sembari tetap menaruh kewaspadaan. Sampai di Tumpak Waru, saya merasakan segarnya udara khas pegunungan. Di sekitar puncak Tumpak Waru kanan kiri banyak ditumbuhi berbagai vegetasi. Dari atas Tumpak Waru ini pula kami menikmati pemandangan yang begitu indah. Sisi selatan, saya leluasa menikmati pemandangan penuh gradasi; birunya laut yang berbagi dengan Gunung Kumbo Karno serta hijaunya tumbuh-tumbuhan dan kerumunan rumah penduduk desa-desa di bawah.
Sementara sisi utara terlihat gugus perbukitan yang lebat ditumbuhi vegetasi tanaman menghijau. Gugusan perbukitan dari kecamatan tetangga, seperti Kecamatan Gandusari, Kampak dan mungkin desa-desa lain. Tumbuh-tumbuhannya tampak hijau dan petak (kedokan) sawah menguning siap untuk dipanen. Sesekali saya mengurangi kendali setir motor dan menoleh ke sisi timur. Geger Tengu dan beberapa gugus perbukitan lain terlihat gagah menjulang.
Meski memiliki kontur jalan yang naik turun, Dusun Ngrancah memiliki potensi alam yang besar. Banyak potensi alam yang mampu menopang ekonomi masyarakat. Warga jadi produktif mengolah lahan. Lahan di sini banyak ditumbuhi berbagai tanaman yang subur. Tidak heran bila di kaki pegunungan-perbukitan sering dijumpai tanaman yang bernilai, baik secara estetika maupun nilai ekonomis.
Di Ngrancah banyak tanaman yang memiliki nilai jual tinggi. Tanaman kapulogo (Amomum Compactum) mendapat perhatian khusus dari petani setempat. Selain memiliki nilai ekonomis, kapulogo tergolong tanaman mudah tumbuh. Selain kapulogo, di Ngrancah juga banyak tanaman lain tumbuh dengan baik.
***
Lokasinya berada di sisi barat laut Desa Sawahan, bersebelahan dengan wilayah Dukuh. Bagi orang luar, Ngrancah merupakan bagian teritori Desa Dukuh. Wilayahnya “tersembunyi” dari wilayah Desa Sawahan. Topografi, kontur, tata wilayah, letak geografis maupun sosial budaya sangat dekat dengan Desa Dukuh. Saya menaruh asumsi bahwa Ngrancah itu bagian dari pedusunan di Dukuh. Di sisi lain, saya menganggap Tumpak Waru atau Pak Waru adalah Ngrancah itu sendiri. Kalaupun bukan, wilayah Ngrancah tidak jauh dari Pak Waru. Baru di medio 2017-an—di acara Sekolah Politik Anggaran (Sepola)—saya baru ngeh kalau Ngrancah itu berada di balik bukit Pak Waru itu, dan masih masuk batas wilayah Desa Sawahan.
Kita mahfum, topografi wilayah Trenggalek sebagian besar terletak di dataran tinggi; bergunung-berbukit. Desa dan kecamatan dipunggungi dataran tinggi. Tidak terkecuali di Pesisir Selatan Prigi, Kecamatan Watulimo ini. Di wilayah Pesisir Selatan beberapa wilayah desanya menempati perbukitan. Saya juga pernah mendengar sebutan “desa atas dan desa bawah”.
Sebutan tersebut bukan bermaksud mendeskripsikan sebuah desa, tetapi karena memang letaknya berada di wilayah dataran tinggi. Dari dua belas (12) desa di Kecamatan Watulimo, 4 desa menempati “desa bawah”, yaitu Desa Tasikmadu, Desa Prigi, Desa Karanggandu dan Desa Margomulyo. Selebihnya adalah desa-desa dengan topografi perbukitan naik-turun.
Ngrancah merupakan salah satu dusun di Desa Sawahan. Desa Sawahan terbagi menjadi empat perdusunan, yakni Dusun Singgahan, Dusun Tenggong, Dusun Krajan dan Dusun Ngrancah. Secara geografis, Dusun Ngrancah berada di bagian barat Sawahan. Dusun Ngrancah adalah salah satu dusun yang letak wilayahnya berada di perbukitan dikepung kawasan hutan. Sementara itu, Dusun Ngrancah hanya ditinggali dua Rukun Tetangga (RT), yakni RT 16 dan RT 17.
***
Dari pinggir(an) jalan, saya mengamati Ngrancah. Letaknya jauh dari hingar-bingar manusia. Keramaian dan deru kendaraan sangat minim. Suasana agak dingin, udara cepat masuk ke pori-pori kulit. Wilayahnya cukup tenang, hening, nyaman serta hijau. Letaknya di pegunungan atau tepian hutan yang adem-ayem. Banyak hamparan tumbuhan yang menghijau, gemericik sungai jernih. Ngrancah dengan topografi wilayah yang bergunung-berbukit, banyak ditumbuhi mata air. Tidak heran bila di beberapa kaki pegunungan-perbukitan ini sering dijumpai sumber air dengan debit besar seperti belik, mason, sendang, telaga, embung dan seterusnya.
Sosial budaya masih sangat terawat dan terjaga. Bagaimana tidak, tradisi srawung dan silaturahmi masih sangat kental dan terjaga. Saat di sana, yang kebetulan istri dari Bambang sedang sakit. Banyak tetangga yang hilir mudik menilik istri Bambang. Mereka menilik mengajak sanak saudaranya. Ingin me–reta’kan (bertanya kabar) bagaimana kondisi tetangganya tersebut. Bagi kaum hawa, saat berkunjung mesti membawakan oleh-oleh yang bisa dinikmati.
Beberapa menit kemudian, kami (saya, Eko Carik, Bambang) berangkat ke ladang menitih motor, setelah mengetahui Mbah Syahroni—bapak kandung Bambang—jalan kaki menuju ladang. Perjalanan membutuhkan waktu 10 menit untuk sampai di ladangnya. Tetapi kalau Mbah Syahroni sekitar 20 menit. Pohon arennya berada di tengah ladang. Untuk menuju ke sana, kami harus blusukan melawan tumbuhan pakis yang tinggi-tinggi. Selain pakis, ladang Mbah Roni (sapaan akrabnya) juga ditumbuhi kapulogo dan parijotho. Saya dan Pak Eko menikmati badek langsung dari bawah pohon aren. Rasanya nikmat sekali.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana jadinya wilayah kars di Trenggalek, meliputi wilayah Kecamatan Kampak, Dongko, Munjungan, Gandusari, Karangan, Pule, Suruh, Tugu dan terutama Watulimo, tempat saya lahir dan besar ini, akan dikeruk dengan alat-alat besar oleh korporasi: mereka yang sama sekali tak mengerti bagaimana desa-desa membangun dirinya dengan menjalin hubungan dekat dengan alam pegunungan dan hutan-hutan. Mereka hanya bernafsu mengeruk kapital dalam tanah, selain itu tidak. Saya tak mampu membayangkan, kesejukan, hijau tumbuhan, segarnya udara di puncak bakal berganti pemandangan tanah gundul dan lubang-lubang bekas kerukan dan galian tambang emas.